Tuesday, April 10, 2012

hukum kontrak



H. KONTRAK
l. License

A.    Peraturan yang Mengatur
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya pada bagian Lampiran Butir C1 Nomor 74, maka asas, maksud, dan tujuan yang terdapat pada suatu perundangundangan hendaknya dimaknai sebagai hal-hal yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal berikutnya. Dengan kata lain, pasal-pasal yang lainnya harus dimaknai secara selaras dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam asas, maksud, dan tujuan tersebut.  
Dalam undang-undang persaingan usaha asas dan tujuan diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Asas yang dimaksud ialah bahwa pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum. Sedangkan, tujuan yang dimaksud adalah: (a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk  meningkatkan kesejahteraan rakyat; (b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; (c) mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan (d) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Dengan demikian pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b harus dimaknai secara selaras dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam asas dan tujuan yang diatur dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Persaingan Usaha.
 Demikian juga halnya dalam melakukan penerapan pengecualian tentang lisensi HKI. Setiap orang hendaknya memandang bahwa pengecualian perjanjian lisensi HKI dari ketentuan hukum persaingan usaha hanya dapat dilakukan sepanjang perjanjian lisensi HKI tersebut tidak bertentangan dengan asas dan tujuan dalam pasal 2 dan 3. Untuk mencegah penyalahgunaan HKI yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka indikator utama pengecualian adalah penguasaan pasar atas produk atau jasa yang dilakukan dengan lisensi HKI tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pasar.

A.    Pengertian dan Persyaratan Perjanjian Lisensi

Perjanjian lisensi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, yang mana satu pihak yaitu pemegang hak bertindak sebagai pihak yang memberikan lisensi, sedangkan pihak yang lain bertindak sebagai pihak yang menerima lisensi. Pengertian lisensi itu sendiri adalah izin untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu obyek yang dilindungi HKI untuk jangka waktu tertentu. Sebagai imbalan atas pemberian lisensi tersebut, penerima lisensi wajib membayar royalti dalam jumlah tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Mengingat hak ekonomis yang terkandung dalam setiap hak eksklusif adalah banyak macamnya, maka perjanjian lisensi pun dapat memiliki banyak variasi.
 Ada perjanjian lisensi yang memberikan izin kepada penerima lisensi untuk menikmati seluruh hak eksklusif yang ada, tetapi ada pula perjanjian lisensi yang hanya memberikan izin untuk sebagian hak eksklusif saja, misalnya lisensi untuk produksi saja, atau lisensi untuk penjualan saja.
Perjanjian lisensi harus dibuat secara tertulis dan harus ditandatangani oleh kedua pihak. Perjanjian lisensi sekurang-kurangnya memuat informasi tentang:
(a) tanggal, bulan dan tahun tempat dibuatnya perjanjian lisensi;
(b) nama dan alamat lengkap serta tanda tangan para pihak yang mengadakan
perjanjian lisensi;
(c) obyek perjanjian lisensi;
(d) jangka waktu perjanjian lisensi;
(e) dapat atau tidaknya jangka waktu perjanjian lisensi diperpanjang;
(f) pelaksanaan lisensi untuk seluruh atau sebagian dari hak ekslusif;
(g) jumlah royalti dan pembayarannya;
(h) dapat atau tidaknya penerima lisensi memberikan lisensi lebih lanjut kepada
pihak ketiga;
(i) batas wilayah berlakunya perjanjian lisensi, apabila diperjanjikan; dan
(j) dapat atau tidaknya pemberi lisensi melaksanakan sendiri karya yang telah
dilisensikan.
“Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Sesuai dengan ketentuan dalam paket Undang-Undang tentang HKI, maka suatu perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian dimuat dalam Daftar Umum dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Namun, jika perjanjian lisensi tidak dicatatkan, maka perjanjian lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, yang dengan sendirinya tidak termasuk kategori pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pedoman ini.
 Perjanjian lisensi dapat dibuat secara khusus, misalnya tidak bersifat eksklusif. Apabila dimaksudkan demikian, maka hal tersebut harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian lisensi. Jika tidak, maka perjanjian lisensi dianggap tidak memakai syarat non eksklusif. Oleh karenanya pemegang hak atau pemberi lisensi pada dasarnya masih boleh melaksanakan sendiri apa yang dilisensikannya atau memberi lisensi yang sama kepada pihak ketiga yang lain.
Yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya (referensi Undang- Undang Paten). Pendaftaran dan permintaan pencatatan perjanjian lisensi yang memuat ketentuan atau memuat hal yang demikian harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Berdasarkan pada paparan tersebut di atas, setiap orang hendaknya memandang bahwa perjanjian lisensi yang dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah perjanjian lisensi yang telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan hukum HKI. Perjanjian lisensi yang belum memenuhi persyaratan tidak masuk dalam pengertian perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan hukum persaingan usaha.

C. Batasan Pemberlakuan Pengecualian

Secara harfiah makna dari ’pengecualian’ adalah tidak memberlakukan suatu aturan yang seharusnya diberlakukan. Dalam konteks hukum persaingan usaha yang pada intinya mengatur mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam kaitannya dengan perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan, ketentuan ’pengecualian’ seolah-olah berarti tidak memberlakukan secara mutlak ketentuan tentang larangan-larangan tersebut terhadap para pihak yang bersangkutan. Sesungguhnya hal tersebut tidaklah tepat, karena jika larangan-larangan tersebut tidak diberlakukan maka pelaksanaan persaingan usaha yang terjadi kelak dapat merupakan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat yang sesungguhnya sesuatu yang hendak dicegah dan diberantas dengan adanya undang-undang persaingan usaha.


2. JOINT VENTURE                                                    
A. Istilah dan pengertian kontrak Joint Venture
 Istilah hukum kontrak patungan merupakan terjemahan dari kata joint venture contrak atau joint venture agreement . Para ahli mencoba mengemukakan berbagai pandangan tentang pengertian dan hakikat dari kontrak joint venture:
1.      Peter Mahmud
Mengemukakan bahwa kontrak joint venture adalah “suatu kontrak antara dua perusahaan untuk membentuk suatu perusahaan baru. Perusahaan baru inilah yang kemudian disebut perusahaan joint venture “ (Peter Mahmud 2000: 10)
2.      Erman Rajagukguk dkk.
3.      Mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan joint venture agreement adalah “suatu kerja sama antar pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional berdasarkan suatu perjanjian (Erman Rajagukguk, dkk. 1995: 200)
Intin dari kedua definisi tersebut adalah bahwa kontrak joint venture merupakan :
1.      Kerjasama antar pemodal asing dan nasional;
2.      Membentuk perusahaan baru, antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional;
3.      Didasarkan pada kontraktual (perjanjian).
Perusahaan baru merupakan perusahaan yang dibentuk antara pengusaha asing dengan pengusaha nasional. Semula pengusaha asing mempunyai nama perusahaannya sendiri dan penguasa nasional juga mempunyai nama perusahaannya sendiri-sendiri. Namun dengan adanya perjanjian yang dibuat para pihak, mereka sepakat membentuk perusahaan baru. Hal ini dapat dicontohkan pada kontrak joint venture antara Newmont indonesia Limited dengan PT Pukuafu indah. Kedua perusahaan ini membentuk PT Newmont Nusa Tenggara.
Perjanjian Usaha Patungan
Antara
Singapore Chopstick Ltd
dengan
PT. Sumpit Indonesia


Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 01 bulan Desember tahun 2008, antara:

(A)     Tn. Angga Handian Putra, 24 Tahun,  Direktur Utama PT. Sumpit Indonesia yang didirikan berdasarkan hukum Negara Republik Indonesia, NPWP 0123456789, yang berkedudukan di Jl. Salemba 4, Jakarta, Indonesia. Dalam kedudukannya berhak mewakili perusahaan menandatangani perjanjian berdasarkan SK Direksi No. 1234/2008. Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.
(B)      Tn. Michael, Presiden direktur, Singapore Chopstick Ltd, yang didirikan berdasarkan hukum Negara Singapura, berkedudukan di Jl. Lion, Singapura. Dalam kedudukannya sebagai Presiden Direktur berhak mewakili perusahaan menandatangani perjanjian. Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA selanjutnya secara bersama-sama disebut sebaga PARA PIHAK.

Menimbang bahwa:

PIHAK KEDUA memiliki reputasi yang baik dalam usaha pembuatan sumpit
PIHAK KEDUA memerlukan perluasan usaha dan perluasan pemasaran produk
PIHAK PERTAMA memiliki pengalaman memproduksi sumpit
PIHAK PERTAMA memiliki jaringan yang luas di Indonesia

Mengingat:

MoU antara PT. Sumpit Indonesia dengan Singapore Chopstick Ltd.

Dengan ini para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian joint venture. Selanjutnya perjanjian ini disebut dengan “Perjanjian Joint Venture

PARA PIHAK akan mendirikan Perseroan Terbatas berdasarkan hukum negara Republik Indonesia untuk mendirikan pabrik sumpit, penyediaan  bambu, penyediaan bahan baku untuk sumpit, mesin – mesin, pengemasan dan pemasaran supit untuk ekspor keluar negeri. Dimana pendirian pabrik sumpit ini tidak bertentangan dengan hukum di Indonesia dan peraturan perundangan yang ada. Perseroan Terbatas yang didirikan oleh PT. Sumpit Indonesia – Singapura Chopstick Pte.Ltd bernama PT. Sumpit Indonesia Singapura. Untuk selanjutnya disebut “PT. Joint Ventura”

Pasal 1
Definisi

Untuk menghindarkan perbedaan penafsiran tentang istilah–istilah yang mungkin timbul, dalam perjanjian joint venture ini disusun istilah-istilah yang digunakan dalam perjanjian ini.
 1.  Perjanjian         : adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
                   2.  Joint Venture : adalah suatu usaha kerjasama yang dilakukan antara penanaman modal asing dengan modal nasional berdasarkan suatu perjanjian/kontrak.
                  3. Perusahaan modal ventura (Venture Capital Company ) : adalah badan usaha yang melaksanakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan usaha (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu.
                  4. Perusahaan pasangan usaha (    Investee Company)     : adalah perusahaan yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal dari perusahaan modal ventura.
                    5.  Asset                : dalam perjanjian ini adalah pabrik sumpit, lahan pabrik, mesin-mesin, dan asset lainnya dalam rangka kerjasama ini tidak terbatas pada waktu tertentu  sebagai hasil peralatan mesin, laba ditahan jika ada dan jumlah kredit dari perusahaan modal ventura di kas Bank.
                    6.  Mata uang  :  mata uang yang digunakan adalah dollar Amerika dan rupiah di Republik Indonesia. dengan kurs $1.00 (satu dolar) senilai Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
                    7.  Know – how : adalah informasi mengenai sesuatu, sebagai hasil dari pengalaman yang dimiliki oleh perusahaan modal ventura termasuk rahasia, hal      yang penting, juga ciri khas. termasuk juga promosi penjualan barang, mulai proses barang sampai penjualannya, cara penjualan ke konsumen dan administrasi & manajemen keuangan. yang berguna untuk Pihak Pertama supaya berkemampuan , sehingga pada akhir perjanjian, berkembang dalam posisi kompetisi, dan membantu untuk masuk dalam pasar yang baru.
                        8. Rahasia : adalah know – how sebagai pokok atau kelompok      penting dan perakitan komponen–komponen tidak secara umum diketahui atau mudah didapat, tidak terbatas pada semua hal yang diketahui oleh masing – masing pihak dikenal sebagai know–how yang secara keseluruhan tidak diketahui           atau dapat dipilih diluar bisnis sumpit.
                    9.  Bahan baku : adalah bahan – bahan yang dibutuhkan dalam proses pembuatan sumpit ( chopstick ).

Anggaran dasar PT
Anggaran dasar PT. Sumpit Indonesia Singapura sesuai dengan tujuan dan maksud perjanjian joint venture, tetapi tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang–undangan di negara Republik Indonesia. Pendirian PT. Joint Ventura sudah sesuai dengan persyaratan yang disetujui dan terdaftar di Menteri kehakiman Republik Indonesia.

3. FRANCHISE

A.   DASAR HUKUM FRANCHISE
1. Perjanjian sebagai dasar hukum KUH Perdata pasal 1338 (1), 1233 s/d 1456 KUH Perdata; para pihak bebas melakukan apapun sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kebiasan, kesopanan atau hal-hal lain yang berhubungan dengan ketertiban umum, juga tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dsb.
2. Hukum keagenan sebagai dasar hukum; KUH Dagang (Makelar & Komisioner), ketentuan-ketentuan yang bersifat administrative seperti berbagai ketentuan dari Departemen Perindustrian, Perdagangan dsb. Seringkali ditentukan dengan tegas dalam kontrak franchise bahwa di antara pihak franchisor dengan franchisee tidak ada suatu hubungan keagenan.

3. Undang-undang Merek, Paten dan Hak Cipta sebagai dasar hukum; berhubung ikut terlibatnya merek dagang dan logo milik pihak franchisor dalam suatu bisnis franchise, apalagi dimungkinkan adanya suatu penemuan baru oleh pihak franchisor, penemuan dimana dapat dipatenkan. UU No.19 (1992) Merek, UU No 6 (1982) Paten, UU No.7 (1987) Hak Cipta.

4. UU Penanaman Modal Asing sebagai dasar hukum; Apabila pihak franchisor akan membuka outlet di suatu Negara yang bukan negaranya pihak franchisor tersebut maka sebaiknya dikonsultasi dahulu kepada ahli hukum penanaman modal asing tentang berbagai kemungkinana dan alternative yang mungkin diambil dan yang paling menguntungkannya. Franchise justru dipilih untuk mengelak dari larangan-larangan tertentu bagi suatu perusahaan asing ketika hendak beroperasi lewat direct investment.


5. Peraturan lain lain sebagai dasar hokum;
a. Ketentuan hukum administrative, seperti mengenai perizinan usaha, pendirian perseroan terbatas, dll peraturan administrasi yang umumnya dikeluarkan oleh Departmen Perdagangan. Kepmen Perdagangan No 376/Kp/XI/1983 tentang kegiatan perdagangan.
b. Ketentuan Ketenagakerjaan,                                                                                                   c. Hukum Perusahaan (UU PT No 1 (1995))                                                                              d. Hukum pajak- adakah pajak ganda, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak withholding atas royalty dan pajak penghasilan atas tenaga kerja asing.
e. Hukum persaingan,                                                                                                                  f. Hukum industri bidang tertentu misalnya aturan tentang standar mutu, kebersihan dan aturan lain lain yang bertujuan melindungi konsumen, atau bahkan UU pangan sendiri.
g. Hukum tentang kepemilikan- hak guna bangunan, hak milik, etc.                                         h. Hukum tentang pertukaran mata uang- RI menganut rezim devisa bebas, maka tidak ada larangan maupun batasan terhadap keluar masuknya valuta asing dari/ke Indonesia.
i. Hukum tentang rencana tata ruang; apakah wilayah tersebut memungkinkan dibukannya sebuah franchise, kualitas bahan untuk gedung tersebut memenuhi syarat? Etc etc.
j. Hukum tentang pengawasan ekspor/ impor misalnya dalam hal pengambilan keputusan apakah barang barang tertentu mesti dibawa dari Negara pihak franchisor atau cukup diambil saja dari Negara pihak franchisee.                                                                                         k. Hukum tentang bea cukai- apakah lebih menguntungkan barang-barang tertentu dipasok dari luar negeri atau cukup menghandalkan produk local semata.

B.   CONTOH KONTRAK FRANCHISE

Contoh Perjanjian Franchise Restoran
Yang bertandatangan di bawah ini:
1.      Drs. M. Adung Darmadung, Direktur Restoran Serba Wenak beralamat di Jl. Raja Panjang No. 221 Kebun Jeruk, Jakarta Barat, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Restoran Serba Wenak dalam perjanjian ini selanjutnya disebut Franchisor.
2.       Leni Marleni, swasta beralamat di Jl. Van Java No. 32 Radio Dalam Jakarta Selatan, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi selaku penerima Franchise yang selanjutnya disebut Franchisee.
Pada hari ini Kamis, tanggal duabelas bulan enam tahun duaribu delapan (12-06-2008) bertempat di kantor Restoran Serba Wenak di alamat tersebut di atas Franchisor dan Franchisee sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kerja sama Franchise dengan menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Franchisor adalah restoran yang menyajikan makanan siap saja yang dikenal dengan nama Restoran Serba Wenak.
Bahwa Franchisor setuju memberikan izin dan membantu Franchise menjual dan menyajikan makanan Serba Wenak untuk wilayah Jakarta Selatan.
Bahwa Franchisee berjanji akan mengawasi, menjaga dan mengendalikan mutu makanan Serba Wenak serta memebrikan pelayanan terbaik bagi setiap konsumen sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Franchisor.
 Bahwa Franchisor memberikan hak ekslusif kepada Franchisee untuk membuka restoran yang menyediakan dan menyajikan makanan siap saji yang ditetapkan Franchisor di seluruh wilayah Jakarta Selatan.
 Franchisor memberikan izin kepada Franchisee dengan nama Restoran Serba Wenak untuk itu Franchisee dapat m enggunakan merek dan system secara bersamaan dengan Franchisee lainnya yang sudah diizinkan oleh Franchisor sebelumnya.
Franchisee setuju membeli dan menjalankan serta mematuhi semua ketetapan dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Franchisor.
Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah ditetapkan di atas dengan ini Franchisor dan Franchisee sepakat untuk melaksanakan Perjanjian ini dalam bentuk kerjasama yang untuk selanjutnya disebut sebagai Perjanjian degnan syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1:
 Syarat-Syarat
Franchisee menyatakan bahwa untuk memenuh seluruh persyaratan yang ditetapkah oleh Franchisor antara lain:
1. memiliki tempat usaha baik miliki sendiri atau hak sewa minimal 5 (lima) tahun seluas 400 meter npersegi dengan desain sebagaimana terlampir.
2. menyediakan fasilitas parkir yang memadai minimal untuk 15 kendaraan roda 4 (empat) dan 50 (limapuluh) kendaraan roda 2 (dua) dan minimal satu toilet untuk konsumen.
3. menyediakan modal awal usaha sebesar Rp. 300.000.000 (tigaratus juta rupiah) dan uang jaminan sebesar Rp. 35.000.000 (tigapuluh lima juta rupiah) yang harus disetor ke rekening Franchisor.
4. tidak akan menyediakan dan menyajikan makanan lain dan atas usaha lain selain makanan Serba Wenak yang ditetapkan oleh Franchisor.
Pasal 2: Franchisee Fee dan Royalti
1. Franchisee setuju membayar Franchisee Fee sebesar Rp. 50.000.000 (limapuluh juta rupiah), pembayaran mana dilakukan pada saat perjanjian ini ditandatangani.
2. Franchisor berhak mendapatkan royalty sebesar 2% (dua persen) dari omzet penjualan setiap restoran yagn dibayarkan pada setiap tanggal 25 setiap bulannya untuk penjualan bulan sebelumnya.
3. untuk keperluan promosi secara nasional produk Serba Wenak, Franchisee bersedia membayar marketing fee sebesar 1% (satu persen) dari omzet penjualan kepada Franchisor.
4. marketinf fee sebagaimana diatur dalam ayat 3 pasal ini semata-mata hanya dieprgunakan oleh Franchisor untuk mempromosikan prpoduk Serba Wenak secara nasional yang dibayarkan bersamaan dengan pembayaran royalti.
Pasal 3: Sengketa dengan Pihak Ketiga
Franchisee tidak akan melibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung Franchisor bila Franchisee terlibat tuntutan hukum dan/atau non hukum yang dilakukan oleh pihak lain berkaitan dengan usaha restoran yang dikelolanya.
Pasal 4: Jam Buka Restoran
1. Pada tiga bulan pertama sejak perjanjian ini ditandatangani Franchisee akan membuka dan mengoperasikan restoran di Jl. Kutuloncat No. 33 Radio Dalam, Jakarta Selatan dan selanjutnya secara bertahap akan membuka 2 (dua cabang) antara lain:
a. cabang ciputat tepat di depan kampus UIN Syarif HIdayatullah Jakarta Selatan
b. cabang lebak bulus tepat di samping Perpustakaan Iman Jamak Lebak bulus Jakarta Selatan
2. Franchisee tidak diperkenankan memindahkan alamat restoran ke tempat lain tanpa persetujuan tertulis dari Franchisor.                                                                                              3. dalam hal Franchisor memberikan izin pemindahan lokasi restoran, maka Franchisee wajib membayar biaya administrasi sebesar Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah). Atas seluruh biaya baik renovasi, izin, pajak dan biaya apapun yang timbul akibat perpindahan lokasi ditanggung oleh Franchisee sendiri.
Pasal 5: Kewajiban Franchisor
Selama perjanjian ini berlangsung Franchisor berkewajiban untuk:
1. memberikan panduan operasional pengelolaan restoran kepada franchisee dan menyediakan secara Cuma-Cuma pengetahuan tentang manajemen pengelolaan dan teknik penyajian menu Serba Wenak.                                                                                             2. menyediakan desain interior, peleatih dan materi pelatihan untuk para pekerja restoran franchisee atas biaya franchisor sendiri.                                                                                    3. menyelenggarakan program pelatihan untuk franchisee secara berkesinambungan dan berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun.                                                                     4. memberikan konsultasi gratis kepada franchisee apabila restoran franchisee berada dalam keadaan krisis yang dapat menyebabkan tutupnya atau berhentinya bisnis restoran franchisee.
5. memberikan rekomendasi kepada pihak perbankan/lembaga keuangan guna membentu franchisee memeproleh pinjaman untuk pengembangan restorannya.
Pasal 6: Kewajiban Franchisee
1. seluruh biaya untuk pengadaan perabotan untuk keperluan restoran serta bahan-bahan baku pembuat menu Serba Wenak yang sesuai dengan standar franchisor serta biaya-biaya lain seperti pengurusan perizinan atas pembukaan dan pengoperasian restoran menjadi tanggungan franchisee sendiri.                                                                                         2. franchisee setuju bahwa pengadaan brosur, kartu nama, formulir, kwitansi, seragam, bahan/atau alat promosi dan benda-benda lain yang diperlukan untuk menunjang usaha restoran, franchisee sepakat untuk membeli dari franchisor atas biaya franchisee.
3. franchisee atau pekerja yang dipekerjakan oleh franchisee pada restoran yang dimaksudkan dalam perjanjian ini wajib mengikuti program pelatihan dna kerja praktek yang diselenggarakan franchisor atas biaya franchisee.
Pasal 7: Biaya-Biaya
1. Franchisee sestuju membayar kepada franchisor semua biaya dan iuran sesuai dengan perjanjian ini termasuk biaya atau tagihan tambahan atas semua produk atau jasa-jasa yang diberikan atau akan diberikan kepada franchisor. Setiap pembayaran yang terlambat akan dikenakan denda keterlambatan sebesar 1% per hari untuk paling lama satu bulan.
2. Franchisee setuju untuk biaya penyelenggaraan seminar, workshop/pelatihan dan pertemuan bulanan dan/atau tahunan yang diselenggarakan franchisor bersama-sama dengan franchisee lainnya.
Pasal 8: Pajak
Setiap pembayaran yang dilakukan oleh franchisee kepada franchisor yang atas pembayaran tersebut franchisor dibebani pajak sesusai dengan kegtentuan peraturan perundang-undangan, maka beban pajak tersebut ditanggung oleh franchisee.
Pasal 9: Perubahan Sistem
Franchisor berhak untuk mengubah dan menyesuaikan system marketing, termasuk penentuan adanya pemakaian nama dagang, tanda dagang, tanda pelayanan baru, identifikasi baru, produk dan menu-menu baru yang dilakukan dengan itikad baik demi usaha franchisee.
Pasal 10: Jangka Waktu
Perjanjian ini berlaku selama 5 (lima) tahun sejak perjanjian ini ditandatangani yakni tanggal 12 juni 2008 dan berakhir pada tanggal 11 Juni 2013 dan atas kesepakatan kedua belah pihak dapat diperpanjang dngan syarat dan jangka waktu yang akan ditetapkan kemudian.
Pasal 11: Kuasa
1. Franchisee dengan ini memberikan kuasa kepada franchisor untuk sewaktu-waktu seuai dengan keinginan franchisor untuk memeriksa dan atau mengaudit segala catatan dan pembukuan franchisee tanpa pengecualian apapun juga.                                                        2. seluruh biaya audit dan biaya lain termasuk biaya pengacara dibayar dalam proses pemeriksaan dan atau audit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sepenuhnya ditanggung oleh franchisee.
Pasal 12: Laporan
1. Franchisee setuju memberikan laporan penjualan secara periodic setiap bulan yang diserahkan paling lambat tanggal 5 setiap bulannya untuk laporan penjualan bulan sebelumnya.
2. dalam sekali setahun franchisee wajib melaporkan semua transaksi keuangan secara tertulis termasuk neraca dan daftar laba rugi secara terus-menerus selama masa perjanjian ini.
3. laporan tahunan sebagaimana tersebut di atas disiapkan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi paling lambat 30 hari setelah berakhirnya tahun yang bersangkutan. Laporan tersebut harus ditandatangani oleh penanggungjawab restoran bersama akuntan publik yang ditunjuk oleh franchisor.
Pasal 13: Rahasia Dagang
Franchisee diwajibkan untuk merahasiakan system, manajemen dan cara-cara pengelolaan restoran yang didapat dari franchisor.
Pasal 14: Pembatalan
Franchisor dapat membatalkan secara sepihak perjanjian ini karena hal-hal berikut:
1. apabila franchisee lalai dan atau tidak melakukan kewajibannya yang diatur dalam eprjanjian ini padahal sudah diberikan peringatan ketiga oleh franchisor namun masih melakukan pelanggaran baik berbeda maupun yang sama, pelanggaran mana yang dianggap serius sebagaimana tertulis dalam surat peringatan/teguran yang menurut ukuran franchisor.
2. apabila franchisee bangkrut atau dinyatakan pailit kecuali jika franchisee dengan segera memenuhi kembali semua kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian ini.
3. dalam hal perjanjian ini diakhiri atau dibatalkan, franchisee berkewajiban untuk:
a. membayar kepada franchisor dengan segera seluruh jumlah hutang-hutangnya sekaligus dan lunas dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal perjanjian ini berakhir.
b. Tidak menuntut dan meminta kembali franchise fee dan biaya-biaya lain yang sudah dikeluarkan beserta bunganya.                                                                                                c. Dengan segera dan secara tetap menghentikan penggunaan semua tanda milik/label franchisor.
d. Franchisee tidak diperkenankan mempromosikan atau menngiklankan restorannya dengan menggunakan nama dan merek franchisor.                                                                             e. Franchisee dengan segera mengembalikan kepada franchisor semua buku manual penuntun, video, kaset, formulir atau peralatan dan barang-barang cetakan yang berisi tanda-tanda paroduk makanan milik franchisor paling lambat 14 hari setelah perjanjian ini berakhir.
f. Franchisee memberikan kausa penuh kepada franchisor melakukan pemeriksaan/inspeksi dan memasuki restoran franchisee serta mengambil tanda-tanda yang bercirikan merek franchisor.
Pasal 16: Penyelesaian Perselisihan
Apabila timbul sengketa diantara kedua belah pihak akibat dari perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Apabila dalam musyawarah untuk mufakat tersebut tidak berhasil mencapai kesepakatan maka kedua belah pihak akan menyelesaikan secara hukum dan karenanya kedua belah pihak memilih domisili hukum yang tetap di kantor Kepaniteraan Pengalidan Negeri Jakarta Barat.
Pasal 16: Penutup
Demikianlah perjanjian ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dalam keadaan sehat jasmani dan rohani tanpa adanya paksaan dari pihak manapun serta dibuat 2 (dua) rangkap masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dibuat danditandatangani di Jakarta pada tanggal 12 Juni tahun 2008.
Franchisee Franchisor
Leni Marleni Drs. Adung Darmadung

4.     Leasing

A.    Pengertian Leasing
                Adalah pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang – barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang – barang modal tersebut, dan dapat dibeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa.
Adapula pengertian Leasing menurut Prof.R.Subekti, S.H. di dalam bukunya `Aneka Perjanjian`.
 Adalah tidak lain dari pada perjanjian sewa – menyewa yang telah berkembang di kalangan para pengusaha, dimana ”lessor” menyewakan suatu perangkat alat perusahaan (mesin – mesin) termasuk service, pemeliharaan dan lain – lain kepada ”lessee” untuk suatu jangka waktu tertentu.
 Beberapa pengertian sewa guna usaha atau dikenal dengan istilah Leasing antara lain:    
1.      The Equipment Leasing Association (ELA-UK)
 Leasing  adalah suatu kontrak antara lessor dengan  lessee untuk penyewaan suatu jenis barang atau aset tertentu langsung, dari pabrik atau agen penjual oleh lessee. Hak kepemilikan barang itu tetap berada pada lessor. Lessee memiliki hak pakai atas barang tersebut dengan membayar sewa dengan jumlah dan jangka waktu yang telah ditetapkan.
2.       Anembal and Isom
 Dari segi pandangan hukum, kegiatan lessing memiliki 4 ciri, yaitu:
a). Perjanjian antara Lessor dengan pihak lessee.
b). Berdasarkan perjanjian lessing, lessor menggalihkan hak penggunaan barang kepada pihak lesse.
c). Lessee membayar kepada lessor uang sewa atas penggunaan barang atau aset.
d). Lessee mengembalikan barang atau aset tersebut kepada lessor pada akhir periode yang ditetapkan lebih dahulu dan jangka waktunya kurang dari umur ekonomis barang tersebut.
3.       Keputusan  Menteri Keuangan No. 1169/KMK. 01/1991 tertanggal 21 Nopember 1991 tentang kegiatan lessing atau sewa guna usaha.
                    Leasing adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara  leasing dengan hak opsi ( Finance Lease) maupun leasing tanpa hak opsi ( Operating Lease) untuk digunakan oleh lesse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Yang dimaksud Finance Lease adalah kegiatan leasing  di mana lesse pada akhir kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Sedangkan, yang dimaksud dengan operating lease adalah kegitan leasing  dengan lesse pada akhir kontrak tidak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek leasing.
B.     Unsur – Unsur Perjanjian Leasing:
1.      Pembiayaan perusahaan
2.      Penyediaan barang – barang modal
3.      Jangka waktu tertentu
4.      Pembayaran secara berkala
5.      Adanya hak pilih (opsi)
6.      Adanya nilai sisa yang disepakati bersama

C.    Dasar Hukum Leasing
  1. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. Kep. 122/MK/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang “Perijinan Usaha leasing”. 
2.      Untuk mendukung perkembangan usaha ini Menteri Keuangan selanjutnya mengeluarkan SK No 650/MK/IV/5/1974 tanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak paenjualan dan besarnya bea meterai terhadap usaha leasing.
3.      Ketentuan minimum modal disetor untuk pendirian suatu perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha leasing diatur  dalam Pakdes 20, 1988 dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988  tanggal 20 Desember 1988, dengan jumlah modal disetor atau simpanan wajib dan pokok ditetapkan sebagai berikut:    
a.      Perusahaan swasta nasional sebesar Rp. 3 milyar
    1. Perusahaan patungan Indonesia- asing sebesar Rp. 10 milyar
    2. Koperasi sebesar Rp. 3 milyar.
D.    Bentuk Surat Perjanjian Leasing

PERJANJIAN PENGAKUAN UTANG


Pada hari ini, Rabu, tanggal empat, bulan sembilan, tahun dua ribu sebelas (04-09-2011), bertempat di Surabaya, telah diadakan perjanjian oleh dan antara:
 
  1.  
Nama
: ...............
Jabatan
: ...............
Alamat
: ...............
No KTP
: ...............

  1. Bertindak untuk dan atas nama ....... dan beralamat di ...., slanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
  2.  
Nama
: ...............
Jabatan
: ...............
Alamat
: ...............
No KTP
: ...............

  1. Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.

Para pihak menerangkan lebih dahulu:

Bahwa Debitur menyetujui untuk mendapatkan fasilitas kredit dari Kreditur guna membeli 1 (satu) unit Kendaraan
Bermotor:
Merek:
Tipe:
Tahun:
No. Mesin :
No. Polisi:
Warna : Hitam
(untuk selanjutnya disebut Kendaraan).

Bahwa Kreditur menyetujui untuk memberikan fasilitas kredit tersebut kepada Debitur dengan ketentuan sebagaimana tersebut di bawah ini :

- Jumlah Utang pokok Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) Jumlah mana akan disetorkan Kreditur kepada Debitur

- Jangka waktu pinjaman 36 bulan, mulai tanggal satu bulan dua tahun dua ribu sebelas (01-02-2012) hingga tanggal tiga bulan satu tahun dua ribu tiga belas (03-01-2013)

- Bunga 10% (sepuluh persen) per tahun

- Besar angsuran per bulan Rp 700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah) dan harus dibayar selambat-lambatnya pada setiap tanggal 15 (lima belas) setiap bulannya.

- Bahwa untuk menjamin ketepatan pembayaran kembali pinjaman Debitur kepada Kreditur sesuai dengan perjanjian ini, Debitur dengan ini menyerahkan hak miliknya atas kendaraan secara Fiducia dan Kreditor menerima baik penyerahan hak milik secara Fiducia atas kendaraan tersebut.


Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Debitur dengan ini mengakui telah berutang atau telah menerima fasilitas pinjaman dari Pihak Kreditur sebesar Utang Pokok ditambah bunga dan biaya-biaya lain dan setuju serta tunduk pada seluruh Ketentuan-Ketentuan dan Syarat-Syarat Perjanjian Pengakuan Utang dengan Penyerahan Hak Milik secara Fiducia sebagaimana terlampir dalam Perjanjian ini yang juga merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Perjanjian ini.


Demikian perjanjian ini dibuat dalam rangkap 3 (tiga) bermaterai cukup, dibuat dalam keadaan sehat jasmani dan rohani dan tanpa paksaan dari pihak manapun.


 
Pihak I



Pihak II


....................

.....................

5.       Production Sharing ( Pelaksanaan Sistem Kontrak Bagi Hasil Dalam Industri Perminyakan )

A.   PENGERTIAN PRODUCTION SHARING
Istilah kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari production sharing contract (bahasa Inggris). Kontrak ini dikenal dalam kontrak-kontrak  yang diadakan pada bidang minyak dan gas bumi. Di bidang pertanian juga dikenal dengan kontrak bagi hasil pertanian. Istilah kontrak production sharing ini dapat dibaca dalam Pasal 1 angka 19 UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Di dalam pasal ini berbunyi bahwa kontrak kerja sama adalah :

“ Kontrak bagi hasil atau bentuk kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat”.

Pasal ini tidak khsusus menjelaskan pengertian kontrak production sharing, tetapi difokuskan  pada konsep teoritis kerja sama di bidang minyak dan gas bumi. Kerjasama di bidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu kontrak production sharing dan kontrak-kontrak lainnya. Unsur-unsur dari kontrak kerjasama ini, yaitu:
  • Dapat dilakukan dalam bentuk kontrak production sharing atau bentuk lainnya.
  • Bidang kegiatannya, yaitu eksplorasi dan eksploitasi.
  • Syaratnya harus menguntungkan negara.
  • Penggunaannya untuk kemakmuran rakyat.
Dalam pasal 1 angka (1) PP No.35/1994 tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerja Sama Konrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi disebutkan pengertian kontrak production sharing sebagai berikut :

Kerjasama antara Pertamina dan Kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi”.

Definisi yang tercantum dalam ketentuan ini ada kesamaan dengan definisi yang dikemukakan oleh Soedjono Dirdjosisworo. Ia mengartkan kontrak production sharing adalah :

"Kerjasama  dengan sistem bagi hasil antara Perusahaan Negara dengan  asing yang sifatnya kontrak. Apabila kontrak telah habis, maka mesin-mesin yang dibawah pihak asing tetap tinggak di Indonesia. Kerjasama dalam bentuk ini merupakan suatu kredit luar negeri di mana pembayarannya dilakukan dengan cara bagi hasil terhadap produksi yang telah dihasilkan perusahaan (Soedjono, 1999:231-232).

Kesamaan dari kedua definisi di atas adalah bahwa kontrak product sharing merupakan perjanjian bagi hasil di bidang minyak dan gas bumi. Para pihak, yaitu Pertamina dan Kontraktor. Sedangkan dalam UU No. 22 tahun 2001 para pihaknya adalah Badan pelaksana dengan Badan Usaha dan atau Badan Usaha Tetap. Maka kedua definisi itu perlu disempurnakan dan dilengkapi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kontrak production sharing adalah :

"Perjanjian atau kontrak yang dibuat antara badan pelaksana dengan badan usaha dan atau badan usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang minyak dan gas bumi dengan prinsip bagi hasil".

Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah
  • adanya perjanjian atau kontrak.
  • adanya subyek hukum, yaitu badan pelaksana dengan badan usaha dan atau badan usaha tetap.
  • adanya obyek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Tujuan eksplorasi adalah untuk memperleh informasi mengenai kondisi geologi dalam menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan. Tujuan ekspoitasi adalah untuk menghasilkan minyak dan gas bumi.
  • kegiatan di bidang minya dan gas
  • adanya prinsip bagi hasil.
Prinsip bagi hasil merupakan prinsip yang mengatur pembagian hasil  yang diperoleh dari eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi antara badan pelaksana dengan badan usaha dan atau badan usaha tetap. Pembagian hasil ini dirundingkan antara kedua belah pihak dan biasanya dituangkan dalam kontrak product sharing.

B.   DASAR HUKUM
Landasan Hukum Kontrak Production Sharing
  • UU No 14 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
  • UU No. 15  Tahun 1962 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri.
  • UU No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina jo. UU No. 10 Tahun 1974 tentang Perubahan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.
  • UU No 22  Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi
  • PP No. 41 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi.
  • Keputusan Presiden No. 42 tahun 1989 tentang Kerjasama Pertamina dengan Badan Usaha Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.
  • Kepres No. 169 tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Organisasi Pertamina.

C.   CONTOH KONTRAK PRODUCTION CONTRACT
Sebagai tindak lanjut dari hasil kajian Panitia Negara Urusan Pertambangan, maka sistem konsesi dalam pengusahaan pertambangan tidak lagi digunakan karenak dinilai memberikan hak yang terlalu luas dan terlalu kuat bagi Pemegang Konsesi, sehingga diganti dengan Kuasa Pertambangan. Maka pengusahaan pertambangan Migas dilakukan oleh Negara dan dilaksanakan hanya oleh Perusahaan 8 Negara.
Hal ini tertuang didalam UU No. 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan sebagai pengganti “Indische Mijn Wet” dan UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Selanjutnya pengelolaan Migas Indonesia berada dibawah Kementrian Keuangan dengan kewenangan menunjuk kontraktor untuk melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh perusahaan negara. Konsekuensinya semua pemegang konsesi pertambangan migas yaitu Shell, Stanvac dan Caltex pada saat itu beralih menjadi Kontraktor Perusahaan Negara.
Kemudian juga terjadi perubahan dalam perusahaan pertambangan negara. Berdasarkan UU No. 19 Prp. Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara dan UU No. 44 Prp. Tahun 1960, NV Niam (kepemilikan Pemerintah dan Shell) diubah menjadi PT. PERMINDO yang kemudian menjadi Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia (PT. PERTAMIN) berdasarkan PP No. 3 Tahun 1961. Menyusul PT. TMSU di Sumatera Utara juga diubah menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PT. PERMINA), yang kemudian menjadi PN. PERMINA.
Pada pertengahan tahun 1960-an seluruh aset perminyakan dan gas bumi yang sudah terikat Kontrak Karya dikuasai oleh Negara yang pengelolaannya dilakukan melalui perusahaan negara yaitu PN.PERTAMIN, PN.PERMINA, dan PN.PERMIGAN. Selanjutnya PN. PERTAMIN dan PN. PERMINA menjadi PN.PERTAMINA atas dasar PP No. 27 Tahun 1968 yang kemudian berubah menjadi PERTAMINA berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, sebagai satu-satunya perusahaan negara pemegang Kuasa Pertambangan di Indonesia.
PERTAMINA sebagai “Integrated State Oil Company” mendapatkan tugas sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan migas. Pertamina juga mendapatkan Kuasa Pertambangan yang meliputi Eksplorasi, Eksploitasi, Pemurnian dan Pengolahan, Pengangkutan serta Penjualan. Berdasarkan UU No.8 tahun 1971, PERTAMINA dapat mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk “Kontrak Production Sharing” dengan syarat tertentu dan berlaku setelah disetujui oleh Presiden untuk kemudian diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Syarat-syarat dalam kerjasama tersebut harus diusahakan syarat yang paling menguntungkan Negara. 9
Pada tanggal 23 Nopember 2001 disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi karena Undang Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan usaha pertambangan migas baik dalam taraf nasional maupun internasional2. Dengan berlakunya UU No.22 tahun 2001 tersebut, maka terdapat ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu: 2 Perubahan UU Migas banyak dipandang sebagai liberalisasi sektor migas di Indonesia. Amandemen UU Migas merupakan paket kebijakan yang harus dilakukan oleh Indonesia sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan dari IMF guna menghadapi krisis finansial tahun 1998.
  • Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;
  • Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan PERPU No. 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri;
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, berikut segala perubahannya, terakhir dengan UU No. 10 Tahun 1974.
  • Segala peraturan pelaksanaan UU No. 44 Prp. Tahun 1960 dan UU No. 8 Tahun 1971.
Konsekuensi dari lahirnya UU No.22 tahun 2001 ini adalah Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa penguasaan atas Migas tetap berada pada Negara, namun pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan.
Kemudian dalam Pasal 1 angka 5, Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
Di sinilah letak perbedaannya dengan UU No. 44 Prp. Tahun 1960 dimana yang memegang Kuasa Pertambangan adalah Perusahaan Negara yaitu Pertamina.
Konsekuensi yang kedua, kalau berdasarkan UU yang lama kegiatan usaha migas itu mencakup hulu dan hilir. Tetapi berdasarkan UU No.22 tahun 2001 kegiatan usaha migas dipisahkan antara usaha hulu dan hilir. Untuk hulu dibentuk Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sedangkan untuk hilir dibentuk Badan Pengatur Hilir (BPH Migas). Dengan kata lain Pertamina sebagai badan usaha milik negara memiliki posisi yang sama dengan kontraktor migas lainnya.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2001, Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana yaitu Badan yang dibentuk untuk melakukan kegiatan pengendalian di bidang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Kegiatan Usaha Hulu Migas itu sendiri menurut Pasal 6 UU No. 22 Tahun 2001 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama.
Sedangkan Kegiatan Usaha Hilir dikendalikan dengan Izin Usaha yang intinya adalah izin kepada Badan Usaha untuk melaksanakan kegiatan Hilir dengan tujuan memperoleh keuntungan. Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan berdasar Kontrak Kerja Sama (KKS), dimana menurut Pasal 6 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 paling sedikit memuat:
  • Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan;
  • Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana;
  • Modal dan Resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap.
Pembentukan Badan Pelaksana yang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan Usaha Hulu adalah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Dengan demikian, bila suatu badan usaha hendak mengadakan kerja sama dalam kegiatan usaha hulu migas tidak lagi berhubungan dengan Pemerintah selaku Pemegang Kuasa Pertambangan tetapi dengan Ditjen Migas dan BP Migas. Berdasarkan PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang BP Migas, salah satu tugas BP Migas adalah melaksanakan penandatanganan 11 Kontrak Kerja Sama dengan Badan Usaha.
Beda UU Migas Dulu & Sekarang
Pada tahun 2001, Pemerintah telah menerbitkan Undang Undang Migas Nomor 22 tahun 2001 sebagai pengganti Undang Undang Nomor 8 tahun 1970. Tentunya, perubahan Undang-undang telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam pengeloaan industri migas nasional serta kedudukan Pertamina.
Ada beberapa yang perlu dicatat mengenai perbedaan UU Migas dulu dan sekarang, diantaranya;
a) Sebelumnya hak mineral dikuasai Negara ( dengan kapital N ), sekarang dikuasai negara ( dengan n kecil yang diartikan hanya Pemerintah saja ).
b) Sebelumnya hak pertambangan dikuasai Pemerintah atas nama Negara dan didelegasikan kepada Perusahan Negara cq Pertamina, sekarang didelegasikan kepada Badan Pelaksana Migas.
c) Sebelumnya economic-right diberikan kepada Perusahan Negara ( Pertamina ), sekarang diberikan kepada Badan Pelaksana Migas.
d) Sebelumnya Pertamina adalah Badan Usaha atau korporasi, sekarang Badan Pengelola Migas adalah Badan Hukum atau bukan korporasi.
e) Sebagai konsekuensi butir d) bila terjadi tuntutan hukum, pada masa lalu yang bertanggung jawab adalah Pertamina, sekarang yang bertanggung jawab adalah Pemerintah cq Negara. Kebijakan ini bertolak belakang dengan praktik-praktik multi national corporation dimana untuk melindungi perusahaan dari tuntutan hukum mereka justru membentuk paper company, sedang kita justru melimpahkan tuntutan hukum menjadi kewajiban Pemerintah cq Negara.
f) Sebelumnya pada Kontrak Bagi Hasil, kontraktor kedudukannya di bawah Pertamina sebagai perusahaan yang dikontrak, sekarang pada Kontrak Kerja Sama kedudukan hukum kontraktor sejajar dengan Badan Pengelola Migas.
g) Sebelumnya semua ketentuan perpajakan dan bea masuk diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 1970, sekarang ketentuan tentang ketentuan perpajakan dan bea masuk diatur menurut masing – masing undang-undang.
h) Sebelumnya kepastian hukum dan kepastian operasi lebih jelas dan tegas tetapi undang-undang baru menimbulkan keraguan pada para kontraktor, sehingga investasi turun, produksi mi nyak turun 30 % dan penerimaan negara dari sektor migas sejak tahun 2001 turun.
i) Sebelumnya Pertamina masih mendapatkan penerimaan dari hasil pengelolaan Kontrak Bagi Hasil k.l. Rp 2 – 4 triliun pertahun. Sekarang penerimaan tersebut digunakan oleh Badan Pengelola Migas.
Melihat struktur hokum UU Migas No.22/2001, eksistensi Pertamina diarahkan untuk menjadi perusahaan yang terpecah-pecah menjadi berbagai anak-anak perusahaan. Hal ini mengakibatkan anak-anak perusahaan Pertamina rentan untuk privatisasi.
Sebagai perusahaan BUMN dan terbesar di Indonesia, pemerintah seharusnya membuka peluang seluas-luasnya bagi Pertamina untuk melakukan aliansi/kerjasama dengan pihak lain terutama dengan Perusahaan Minyak yang lebih maju.
Sebagai perbandingan perlu disimak langkah perusahaan minyak Malaysia Petronas yang dapat menjadi besar seperti saat ini justru karena meniru pola UU No.8/1971 dimana hingga saat ini Petronas oleh PDA 1975 (Petroleum Development Act 1975 Malaysia – mirip UU No.8/1971) tetap diberi Kuasa Pertambangan sehingga:
  1. Semua investor minyak asing (KPS) masih tetap berada di bawah pengawasan Petronas. Sedangkan di Indonesia, oleh UU 22/2001, Kuasa Pertambangan dicabut dari Pertamina. Saat ini pengawasan terhadap KPS dilakukan oleh BP Migas tidak lagi oleh Pertamina
  2. Penjualan migas bagian Negara yang berasal dari KPS, di Malaysia tetap dijual oleh Petronas. Sedangkan di Indonesia, oleh UU 22/2001, migas bagian Negara yang diperoleh dari KPS tidak bisa dijual langsung oleh BP Migas karena BP Migas bukan Badan Usaha, sehingga migas bagian Negara tersebut harus dijual oleh pihak ketiga (trader di Singapura ).
  3. Di Malaysia, tidak ada badan semacam BPH Migas (Regulator Hilir), sehingga Pemerintahlah (Ditjen Perdagangan Dalam Negeri) yang menetapkan harga jual BBM di pompa bensin sekaligus menetapkan marjin yang diperoleh oleh perusahaan minyak (termasuk perusahaan minyak asing yang menjual bensin). Harga jual yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut selalu diatas biaya dan mengacu kepada harga minyak dunia, sehingga Petronas dapat memperoleh keuntungan/marjin dari menjual BBM di dalam negeri. Sedangkan di Indonesia, harga jual BBM ditetapkan oleh Pemerintah tidak pernah memperhitungkan marjin bagi pelaku usaha (Pertamina) sehingga Pertamina tidak dapat mengakumulasi dana dari menjual BBM.

6.     TEHNICAL ASSISTENCE CONTRACt

A.   DASAR HUKUM

Kontrak Bantuan Te Peratturan yang mengatur Management assistance
  1. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi ILO mengenai berlakunya dasar-dasar dan hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama.
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
  4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
  5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
  6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
  7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
  8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional jo Putusan Mahkmah Konstitusi RI Nomor :  007/PUU-III/2005 tanggal 18 Agustus 2005.
  9. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 tentang PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001.
  12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja Dengan Manfaat Lebih Baik Dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
  13. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
  14. Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor KEP-252/MBU/2009 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota-anggota Direksi Perusahaan Perseroan PT Perusahaan Listrik Negara.
  15. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor SE.13/MEN/SD-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi R.I. atas Hak Uji Material UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD Negara R.I. tahun 1945.
  16. Keputusan Musyawarah Nasional Luar Biasa Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Nomor 09/SK/MUNASLUB/SP-PLN/2009 tanggal 19 November 2009 tentang Penetapan Ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Periode 2009-2013.
  17. Surat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Nomor 114/SEKJEN/SP-PLN/2008 tanggal 21 April 2008 perihal Perundingan PKB 2008-2010 jo Keputusan Ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Nomor KEP-019/DPP SPPLN/2010 tanggal 14 April 2010.



Management  Assistance  (Bantuan  Management)
KEGIATAN USAHA HULU
Pasal 11
(1) Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dilaksanakan oleh BadanUsaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
(2) Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu :
a. penerimaan negara;
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya;
c. kewajiban pengeluaran dana;
d. perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi;
e. jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak;
f. penyelesaian perselisihan;
g. kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
h. berakhirnya kontrak;
 i. kewajiban pascaoperasi pertambangan;
j. eselamatan dan kesehatan kerja;
k. pengelolaan lingkungan hidup;
l. pengalihan hak dan kewajiban;
m. pelaporan yang diperlukan;
n. rencana pengembangan lapangan;
o. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
p. pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat;
q. pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.


Pasal 12
(1) Wilayah Kerja yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap ditetapkan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah.
(2) Penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri.
(3) Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 13
(1) Kepada setiap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap hanya diberikan 1 (satu) Wilayah Kerja.
(2) Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap mengusahakan beberapa Wilayah Kerja, harus dibentuk badan hukum yang terpisah untuk setiap Wilayah Kerja.
Pasal 14
(1) Jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) tahun.
(2) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 15
(1) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) terdiri atas jangka waktu Eksplorasi dan jangka waktu Eksploitasi.
 (2) Jangka waktu Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan 6 (enam) tahun dan dapat diperpanjang hanya 1 (satu) kali periode yang dilaksanakan paling lama 4 (empat) tahun.
Pasal 16
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya secara bertahap atau seluruhnya kepada Menteri.
Pasal 17
Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang telah mendapatkan persetujuan pengembangan lapangan yang pertama dalam suatu Wilayah Kerja tidak melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu Eksplorasi wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Menteri.


Pasal 18
Pedoman, tata cara, dan syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja Sama, serta pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Untuk menunjang penyiapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilakukan Survei Umum yang dilaksanakan oleh atau dengan izin Pemerintah.
(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau Eksplorasi dan Eksploitasi adalah milik negara yang dikuasai oleh Pemerintah.
(2) Data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerjanya dapat digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dimaksud selama jangka waktu Kontrak Kerja Sama.
(3) Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh selama masa Kontrak Kerja Sama kepada Menteri melalui Badan Pelaksana.
(4) Kerahasiaan data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerja berlaku seama jangka waktu yang ditentukan.
(5) Pemerintah mengatur, mengelola, dan memanfaatkan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) untuk merencanakan penyiapan pembukaan Wilayah Kerja.
(6) Pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 21
(1) Rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja wajib mendapatkan persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan setelah bekonsultasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas Bumi, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib melakukan optimasi dan melaksanakannya sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

knis (Technical Assistance Contract / TAC) diberikan pada wilayah yang belum atau telah berproduksi untuk jangka waktu tertentu, tergantung pada perjanjian kontraknya. Produksi minyak dan gas bumi pertama-tama, dibagi menjadi bagian yang tidak dapat dibagikan (non-shareable) dan bagian yang dapat dibagikan (shareable).
Bagian yang tidak dapat dibagikan merupakan produksi yang diperkirakan dapat dicapai dari suatu wilayah (berdasarkan data historis produksi dari suatu wilayah) pada saat perjanjian TAC ditandatangani dan menjadi hak milik Pertamina. Dalam TAC, produksi dari bagian yang tidak dapat dibagikan akan menurun setiap tahunnya. Bagian yang dapat dibagikan berkaitan dengan penambahan produksi yang berasal dari investasi pihak operator terhadap wilayah yang bersangkutan secara umum dibagikan dengan cara yang sama seperti Production Sharing Contract (PSC).
B.     Contoh Tehnical Assistance Contract

KONTRAK
PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN RUMAH TINGGAL
antara
CV. Maju jaya
dengan
…………………………………………………
_________________________________________________________________
Nomor : …………………….
Tanggal : …………………….
Pada hari ini ………, tanggal ……………kami yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama CV. Maju jaya dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama.
dan
Nama : ………………………………………………………………………………
Alamat : ………………………………………………………………………………
Telepon : ………………………………………………………………………………
Jabatan : ………………………………………………………………………………
Dalam hal ini bertindak atas nama Pemilik atau Kuasa Pemilik dan selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua.
Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatan Kontrak Pelaksanaan Pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang dimiliki oleh Pihak Kedua yang terletak di ……………………………………………………………………………………
Pihak Pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan, yang pembiayaannya ditanggung oleh Pihak Kedua, dengan ketentuan yang disebutkan dalam pasal pasal sebagai berikut :
Pasal 1
Tujuan Kontrak
Tujuan kontrak ini adalah bahwa Pihak Pertama melaksanakan dan, menyelesaikan pekerjaan Pembangunan Rumah Tinggal yang berlokasi tersebut diatas.
Pasal 2
Bentuk Pekerjaan
Bentuk pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh Pihak Pertama adalah sebagai berikut :
1. Pekerjaan Perencanaan ( gambar kerja, spesifikasi material dan bahan, serta time schedule proyek ).
Terlampir Timeschedule Perencanaan no. bp/071009/2007, tertanggal 09 oktober 2007
2. Pekerjaan Bangunan ( pelaksanaan konstruksi bangunan, sesuai dengan spesifikasi material dan bahan yang akan dilampirkan oleh pihak pertama pada saat Pekerjaan Perencanaan selesai, dan telah disetujui oleh pihak kedua )

Pasal 3
Sistem Pekerjaan
Sistem pekerjaan yang disepakati oleh kedua belah pihak adalah sebagai berikut :
1. Pihak kedua menggunakan system penunjukan langsung dengan memberikan anggaran biaya ( budget ).
Pihak Kedua memberikan anggaran biaya kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
2. Anggaran Biaya sebesar Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ) termasuk rincian :
a. Pekerjaan Perencanaan
b. Pekerjaan Bangunan
Dan tidak termasuk :
a. Pajak – pajak yang di timbulkan atas pelaksanaan pembangunan termasuk : Pajak kontraktor, pajak pribadi, pajak membangun sendiri dan lain-lain.
b. IMB ( Ijin mendirikan bangunan ) mulai dari tingkat klian banjar, lurah / kepala desa, camat dan pihak ciptakarya badung.
3. Pihak pertama berhak menentukan luasan ruang bangunan, spesifikasi bahan dan material bangunan, dan bentuk bangunan yang akan disesuaikan dengan anggaran biaya ( budget ) yang di berikan oleh pihak kedua.
Pasal 4
Biaya
Adapun biaya pembangunan rumah tinggal tersebut adalah Rp. 2.100.000.000 ( Dua Milyar Seratus Juta Rupiah ).
Pasal 5
Sistem Pembayaran
Pembayaran atas pekerjaan pembangunan tersebut diatas dilakukan dalam beberapa tahap yaitu :
Tanda Jadi :Tanda jadi sebesar Rp. 10.000.000 ( sepuluh juta rupiah ) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan perencanaan ( Pasal 2 ayat 1 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal ……………………
Downpayment embayaran 30 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 630.000.000 (enam ratus tiga puluh juta rupiah) yang harus dibayarkan pada saat pekerjaan bangunan ( Pasal 2 ayat 2 ) mulai dikerjakan, yaitu pada tanggal ………..
Tahap I embayaran 25 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 525.000.000 (lima ratus dua puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan dinding dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Tahap II embayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan atap dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Tahap III embayaran 20 % x Rp 2.100.000.000 = Rp. 420.000.000 (empat ratus dua puluh juta rupiah) setelah pekerjaan lantai dimulai, yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Pelunasan embayaran 5% x Rp 2.100.000.000 = Rp. 105.000.000 dikurangi tanda jadi Rp. 10.000.000 menjadi Rp. 95.000.000 (sembilan puluh lima juta rupiah) setelah pekerjaan selesai.
yang harus dibayarkan pada tanggal ………..
Pembayaran tersebut harus dilakukan melalui transfer ke rekening :
Penerima : CV Maju jaya
Bank : ………………………………………………………………………………
No rekening : ………………………………………………………………………………

Pasal 6
Jangka Waktu Pengerjaan
Jangka waktu pengerjaan adalah ……………… bulan, terhitung setelah kontrak ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dan pembayaran tahap pertama diterima oleh Pihak Pertama pada tanggal ……………………………………………………….
Apabila terjadi keterlambatan pengerjaan pembangunan dari waktu yang telah ditentukan, maka Pihak Pertama wajib membayar denda kepada Pihak Kedua sebesar Rp. 10.000/hari. ( Sepuluh ribu rupiah perhari ).
Pasal 7
Perubahan
Apabila pada waktu pengerjaan pelaksanaan konstruksi terdapat perubahan perubahan terhadap luasan, posisi dan bentuk serta penambahan material bangunan, diluar dari perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah Pihak, maka Pihak Kedua wajib membayar setiap perubahan pembongkaran dan pemasangan kembali yakni sebesar Rp. 100.000/M2. ( seratus ribu rupiah permeter persegi )
Pasal 8
Masa Pemeliharaan
  1. Masa pemeliharaan berlaku selama 3 bulan, setelah selesai
pekerjaan/serah terima hasil pekerjaan yang diikuti dengan penandatanganan berita acara penyerahan bangunan.
  1. Apabila dalam masa pemeliharaan tersebut terdapat kerusakan yang disebabkan bukan dari pekerjaan Pihak Pertama, maka Pihak Kedua tidak berhak menuntut Pihak Pertama untuk mengerjakannya.
Namun, Pihak Pertama dapat memperbaiki kerusakan tersebut sesuai dengan formulir perubahan dengan biaya yang ditanggung oleh Pihak Kedua sebesar Rp. 100.000/M2 ( termasuk biaya upah tukang & material ).
Pasal 9
Lain – Lain
Pihak Pertama dan Pihak Kedua akan bersama- sama mematuhi dengan baik dan bertanggung jawab terhadap seluruh kesepakatan kerja yang telah disetujui.
Demikian Kontrak Kerja ini telah di setujui dan di tanda tangani untuk dilaksanakan dengan sebagai mana mestinya tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.
Pihak Pertama Pihak Kedua
( …………………. ) (…………………… )
CV. Maju jaya
7.      KNOW –HOW

A.    DASAR HUKUM



Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib mengembalikan sebagian Wilayah Kerjanya secara bertahap atau seluruhnya kepada Menteri.
Pasal 17
Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang telah mendapatkan persetujuan pengembangan lapangan yang pertama dalam suatu Wilayah Kerja tidak melaksanakan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak berakhirnya jangka waktu Eksplorasi wajib mengembalikan seluruh Wilayah Kerjanya kepada Menteri.

Pasal 18
Pedoman, tata cara, dan syarat-syarat mengenai Kontrak Kerja Sama, penetapan dan penawaran Wilayah Kerja, perubahan dan perpanjangan Kontrak Kerja Sama, serta pengembalian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Untuk menunjang penyiapan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilakukan Survei Umum yang dilaksanakan oleh atau dengan izin Pemerintah.
(2) Tata cara dan persyaratan pelaksanaan Survei Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) Data yang diperoleh dari Survei Umum dan/atau Eksplorasi dan Eksploitasi adalah milik negara yang dikuasai oleh Pemerintah.
(2) Data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerjanya dapat digunakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dimaksud selama jangka waktu Kontrak Kerja Sama.
(3) Apabila Kontrak Kerja Sama berakhir, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh selama masa Kontrak Kerja Sama kepada Menteri melalui Badan Pelaksana.
(4) Kerahasiaan data yang diperoleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di Wilayah Kerja berlaku selama jangka waktu yang ditentukan.
(5) Pemerintah mengatur, mengelola, dan memanfaatkan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) untuk merencanakan penyiapan pembukaan Wilayah Kerja.
(6) Pelaksanaan ketentuan mengenai kepemilikan, jangka waktu penggunaan, kerahasiaan, pengelolaan, dan pemanfaatan data sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



Pasal 21
(1) Rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja wajib mendapatkan persetujuan Menteri berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan setelah berkonsultasi dengan Pemerintah Daerah Provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam mengembangkan dan memproduksi lapangan Minyak dan Gas Bumi, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib melakukan optimasi dan melaksanakannya sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik.
(3) Ketentuan mengenai pengembangan lapangan, pemroduksian cadangan Minyak dan Gas Bumi, dan ketentuan mengenai kaidah keteknikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

8.      PRODUCTION SHARING

A.    DASAR HUKUM

1.      2 TAHUN 1960 (2/1960)
2.      Peraturan Presiden No. 20 Tahun 1963
3.      Pasal 12 Ayat [1] UU No 8 tahun 1971 Tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.  Berbunyi : ““Perusahaan dapat mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk Kontrak Production Sharing”.
4.      PP No. 35 Tahun 1994 tentang Syarat-syarat dan Pedoman Kerjasama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi

No comments:

Post a Comment